Jumat, 03 April 2009

Siapa Istri Salehah itu?

“...wanita (istri) yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...” (QS. an-Nisa: 34).

Kesalehan di sini terkait erat dengan “kekhususan” yang dimiliki oleh wanita. Apa yang telah disebutkan merupakan sesuatu yang paling saleh di dalam dirinya.

Imam ath-Thabari mengutip perkataan Abu Ja’far, mendefinisikan “wanita salehah” sebagai “wanita yang istiqomah dalam menjalankan agama dan giat melaksanakan kewajiban.”

Imam Fakhruddin ar-Razi menafsirkan ayat di atas dengan dua pengertian: Pertama, wanita salehah adalah yang qaanitaat (taat kepada Allah) dan haafidzaat lil ghaibi (memelihara diri ketika suaminya tidak ada). Di sini kesalehan wanita menuntut penunaian hak Allah terlebih dahulu, baru kemudian hak suami.

Kedua, status wanita bisa dilihat pada saat suami berada di rumah dan di luar rumah. Saat suami berada di rumah, sikap dan perilaku istri yang salehah digambarkan oleh Allah sebagai qanitat. Artinya, ia menjalankan hak-hak suami.

Sekilas firman Allah ini memang hanya berbentuk informasi, namun sesungguhnya yang ingin ditekankan di sini adalah perintah untuk menaati.

Jadi, seorang wanita (baca: istri) disebut salehah jika ia menaati suaminya, sebab Allah Swt. berfirman, “Ash-shalihaat qaanitaat” (wanita salehah ialah mereka yang taat). Kata sandang alif dan lam dalam “ash” berfungsi menyeluruh. Konsekuensinya, siapa pun wanita yang ingin disebut salehah maka ia wajib patuh dan taat.

Al-Wahidi lebih lanjut menegaskan bahwa lafadz qaanitaat mengindikasikan ketaatan secara umum, menyangkut ketaatan kepada Allah dan suami.

Sementara ketika suami berada di luar rumah, tingkah laku wanita salehah digambarkan oleh Allah Swt. sebagai haafidzat lil ghaib. Artinya, mereka mampu menjaga konsekuensi-konsekuensi ketiadaan suami mereka di rumah. Pertama, ia dapat memelihara diri dari godaan zina, hingga suaminya tidak menanggung malu akibat perbuatan nistanya. Kedua, ia bisa menjaga dan mengurus harta-benda suaminya dari tangan-tangan jahil. Ketiga, ia bisa menjaga rumah suaminya sebagaimana mestinya.

Nabi Saw. bersabda, “Sebaik-baik istri adalah yang menyenangkan jika kamu pandang, yang patuh jika kamu suruh, dan yang menjaga harta-benda dan dirimu jika kamu tidak ada (di rumah).” Kemudian beliau membaca ayat di atas.

Mengenai firman Allah “bi maa hafidzallah”, Imam Fakhruddin ar-Razi mengatakan bahwa firman ini memiliki dua pengertian: Pertama, “maa” di sini berfungsi sebagai “alladzi” (isim maushuul) dengan membuang kata ganti (al ‘aa’id ilaih), sehingga direka menjadi “bi alladzi hafizhallahu lahunna” (dengan apa yang telah Allah pelihara untuk mereka). Artinya, istri salehah berkewajiban memelihara hak-hak suami, sebagai timbal balik kebaikan Allah dalam memelihara hak-hak mereka pada suami mereka, di mana Dia memerintahkan suami mereka untuk bersikap adil terhadap mereka; memperlakukan mereka dengan baik dan memberi mereka mahar. Jadi dalam firman “bi maa hafidzallah” ini berlaku hukum kompensasi.

Kedua, “maa” di sini berfungsi sebagai “ma mashdariyyah” (yang tidak memiliki peran apa-apa), sehingga rekaannya adalah “bi hifdzillah”. Jika mengacu pada redaksi ini maka ada dua pengertian:

Wanita-wanita salehah itu bisa memelihara diri di tengah ketiadaan suami mereka, karena Allah memelihara mereka dan mereka tidak kuasa memelihara diri kecuali dengan taufik Allah. Pemaknaan demikian termasuk redaksi penyandaran mashdar pada faa’il.
Wanita salehah itu bisa memelihara diri di tengah ketiadaan suaminya lantaran ia memelihara Allah, atau lebih tepatnya karena mereka konsisten dalam menjaga batasan-batasan Allah dan perintah-perintah-Nya. Dengan kata lain, tanpa berusaha konsisten menjalankan beban-beban kewajiban Allah (taklif) dan bergiat menjaga perintah-perintah-Nya, seorang wanita (istri) tidak akan menaati suaminya.

Hadits-hadits lain yang membicarakan ketaatan istri kepada suaminya, dapat disebut beberapa di antaranya:

Dalam hadits tentang kisah delegasi kaum wanita, mereka menyebutkan tentang pahala yang diperoleh para lelaki dengan jihad, kemudian mereka bertanya, “Bagaimana kami dapat memperoleh keutamaan seperti demikian?” Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Sampaikan kepada para wanita yang kalian jumpai bahwa mentaati suami dan menunaikan hak-haknya dapat menyamai semua keutamaan itu…” (HR. al-Bazaar dan Thabrani)

“Apabila seorang wanita telah mengerjakan sholat lima waktu, puasa bulan ramadhon, menjaga kemaluannya, mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah jannah dari pintu manapun yang engkau suka’.” (Shahih al-Jami’ al-Kabir)

“Siapa saja wanita yang meninggal sementara suaminya ridho terhadapnya maka ia pasti masuk jannah.” (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim)

“Tidak ada perkara yang lebih bagus bagi seorang mukmin setelah bertakwa kepada Allah daripada istri yang shalihah, bila ia menyuruhnya maka ia menaatinya, bila memandangnya membuat hati senang, bila bersumpah (agar istrinya melakukan sesuatu), maka ia melakukannya dengan baik, dan bila ia pergi maka ia dengan tulus menjaga diri dan hartanya.” (HR. Ibnu Majah)

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad).

Anas berkata, “Para Sahabat Rasulullah Saw. jika menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, maka mereka memerintahkan isteri agar berkhidmat kepada suaminya dan memelihara haknya.”

Ummu Humaid berkata, “Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada 'Aisyah dan memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya di atas kepalanya seraya mendo'a-kannya dan memerintahkannya agar bertakwa kepada Allah serta memenuhi hak suami.”

'Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti 'Auf. Ketika dia akan dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui puterinya lalu berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan dasar-dasar kehidupan yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya yang patut menjadi undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan: “Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar, dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik untuk orang yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya wanita tidak membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup dan keduanya sangat membutuhkanya, niscaya akulah orang yang paling tidak membutuhkannya. Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki, dan karena mereka pula laki-laki diciptakan.

Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya engkau naik kepada keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang engkau belum terbiasa dengannya. Ia dengan ke-kuasaannya menjadi pengawas dan raja atasmu, maka jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia menjadi abdimu pula. Peliharalah untuknya 10 perkara, niscaya ini akan menjadi kekayaan bagimu. Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana'ah (merasa cukup), serta mendengar dan patuh kepadanya. Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya. Jangan sampai matanya melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai mencium darimu kecuali aroma yang paling harum.

Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat makan akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah. Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara keluarga dan kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah menghargainya dengan baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah mengaturnya dengan baik.

Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan jangan menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya, maka hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebar-kan rahasianya, maka engkau tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya. Kemudian janganlah engkau bergembira di hadapannya ketika dia bersedih, dan jangan pula bersedih di hadapannya ketika dia bergembira.”

Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, “Perintahkan kepada puterimu agar tidak singgah di kediaman (suaminya) melainkan dalam keadaan telah mandi. Sebab, air itu dapat mencemerlangkan bagian atas dan membersihkan bagian bawah. Dan janganlah ia terlalu sering mencumbuinya. Sebab jika badan lelah, maka hati menjadi lelah. Jangan pula menghalangi syahwatnya, sebab keharmonisan itu terletak dalam kesesuaian.”

Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada Amirul Mukminin 'Utsman bin 'Affan Ra., dan beliau telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, “Wahai putriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini: bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan.”Abul Aswad berkata kepada puterinya, “Jangalah engkau cemburu, sebab kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian ialah menyempurnakan wudhu.”

Ummu Ma'ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang telah diramunya dengan senyum dan air matanya: “Wahai puteriku, engkau akan memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang tiada tempat di dalamnya untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun dari saudaramu. Engkau akan menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada seorang pun yang menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia berasal dari daging dan darahmu. Jadilah engkau sebagai isteri, wahai puteriku, dan jadilah engkau sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa bahwa engkau adalah segalanya dalam kehidupannya dan segalanya dalam dunianya. Ingatlah selalu bahwa suami itu anak-anak yang besar, jarang sekali kata-kata manis yang membahagia-kannya. Jangan engkau menjadikannya merasa bahwa dengan dia menikahimu, ia telah menghalangimu dari keluargamu.

Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya karenamu. Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan antara wanita dan laki-laki. Wanita selalu rindu kepada keluarganya, kepada rumahnya di mana dia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan belajar. Tetapi dia harus membiasakan dirinya dalam kehidupan yang baru ini. Ia harus mencari hakikat hidupnya bersama pria yang telah menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru, wahai puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu. Inilah mahligaimu, di mana kalian berdua bersama-sama menciptakannya.

Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak me-mintamu melupakan ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu akan lupa belahan hatinya? Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau mencintai suamimu, mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan kehidupanmu bersamanya.”

Kapankah Menolak Perintah Suami?
Kita tidak boleh tunduk pada suami yang memerintah kepada kemaksiatan meskipun hati kita begitu cinta dan sayangnya kepada suami. Jika kewajiban patuh pada suami sangatlah besar, maka apalagi kewajiban mematuhi Allah, tentu lebih besar lagi. Allahlah yang menciptakan kita dan suami kita, kemudian mengikat tali cinta diantara sang istri dan suaminya. Namun perlu diketahui, bukan berarti kita harus marah-marah dan bersikap keras kepada suami jika ia memerintahkan suatu kemaksiatan kepada kita, tetapi cobalah untuk menasehatinya dan berbicara dengan lemah lembut, siapa tahu suami tidak sadar akan kesalahannya atau sedang perlu dinasehati, karena perkataan yang baik adalah sedekah.

Berikut ini beberapa contoh perintah suami yang tidak boleh kita taati karena bertentangan dengan perintah Allah:

1. Menyuruh Kepada Kesyirikan
Tidak layak bagi kita untuk menaati suami yang memerintah untuk melakukan kesyirikan seperti menyuruh istri pergi ke dukun, menyuruh mengalungkan jimat pada anaknya, ngalap berkah di kuburan, bermain zodiak, dan lain-lain. Ketahuilah saudariku, syirik adalah dosa yang paling besar. Syirik merupakan kezholiman yang paling besar (lihat QS. Luqman: 13). Bagaimana bisa seorang hamba menyekutukan Allah sedang Allah-lah yang telah menciptakan dan memberi berbagai nikmat kepadanya? Sungguh merupakan sebuah penghianatan yang sangat besar!

2. Menyuruh Melakukan Kebid’ahan
Nujuh bulan adalah acara yang banyak dilakukan oleh masyarakat ketika calon ibu genap tujuh bulan mengandung si bayi. Ini adalah salah satu dari sekian banyak amalan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah Saw.. Walaupun begitu banyak masyarakat yang mengiranya sebagai ibadah sehingga merekapun bersemangat mengerjakannya. Ketahuilah wahai saudariku muslimah, jika seseorang melakukan suatu amalan yang ditujukan untuk ibadah padahal Nabi Saw. tidak pernah menyontohkannya, maka amalan ini adalah amalan yang akan mendatangkan dosa jika dikerjakan. Ketika sang suami menyuruh istrinya melakukan amalan semacam ini, maka istri harus menolak dengan halus serta menasehati suaminya.

3. Memerintah untuk Melepas Jilbab
Menutup aurat adalah kewajiban setiap muslimah. Ketika suami memerintahkan istri untuk melepas jilbabnya, maka hal ini tidak boleh dipatuhi dengan alasan apapun. Misalnya sang suami menyuruh istri untuk melepaskan jilbabnya agar mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan, hal ini tentu tidak boleh dipatuhi. Bekerja diperbolehkan bagi muslimah (jika dibutuhkan) dengan syarat lingkungan kerja yang aman dari ikhtilat (campur baur dengan laki-laki) dan kemaksiatan, tidak khawatir timbulnya fitnah, serta tidak melalaikan dari kewajibannya sebagai istri yaitu melayani suami dan mendidik anak-anak. Dan tetap berada di rumahnya adalah lebih utama bagi wanita (Lihat QS. al-Ahzab: 33). Allah telah memerintahkan muslimah berjilbab sebagaimana dalam QS. al-Ahzab: 59. Perintah Allah tidaklah pantas untuk dilanggar, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.

3. Mendatangi Istri Ketika Haidh atau dari Dubur
Rasulullah Saw. telah bersabda, “…dan persetubuhan salah seorang kalian (dengan istrinya) adalah sedekah.” (HR. Muslim)

Begitu luasnya rahmat Allah hingga menjadikan hubungan suami istri sebagai sebuah sedekah. Berhubungan suami istri boleh dilakukan dengan cara dan bentuk apapun. Walaupun begitu, Islam pun memiliki rambu-rambu yang harus dipatuhi, yaitu suami tidak boleh mendatangi istrinya dari arah dubur, sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, “(Boleh) dari arah depan atau arah belakang, asalkan di farji (kemaluan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka ketika suami mengajak istri bersetubuh lewat dubur, hendaknya sang istri menolak dan menasehatinya dengan cara yang hikmah. Termasuk hal yang juga tidak diperbolehkan dalam berhubungan suami istri adalah bersetubuh ketika istri sedang haid. Maka perintah mengajak kepada hal ini pun harus kita langgar. Hal ini senada dengan sabda Nabi Saw., “Barangsiapa yang menjima’ istrinya yang sedang dalam keadaan haid atau menjima’ duburnya, maka sesungguhnya ia telah kufur kepada Muhammad.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi)

Demikian uraian singkat dari Quran Surat an-Nisa ayat 34 tentang definisi wanita salehah. Semoga definisi yang telah digariskan al-Quran dapat menjadi bagian dari akhlak seorang muslimah, terutama mereka yang sudah berkeluarga.

Perasaan Orangtua Terhadap Anak

Yang dimaksud perasaan di sini adalah, sentuhan cinta dan kasih sayang orangtua terhadap anak-anaknya. Hikmahnya adalah menghilangkan kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang menguasai jiwa yang sakit. Yakni, pandangan negatif terhadap anak perempuan, memperlihatkan keutamaan pahala dan balasan bagi orang yang sabar karena kehilangan anak, serta tabah karena berpisah dengannya. Dan terakhir adalah apa yang harus dikerjakan oleh kedua orangtua apabila kepentingan Islam bertentangan dengan kepentingan anak.

A. Kedua Orangtua Secara Fitrah Akan Mencintai Anak
Di dalam hati kedua orangtua secara fitrah akan tumbuh perasaan cinta terhadap anak dan akan tumbuh pula perasaan lainnya, berupa rasa kebapakan dan keibuan.

Andaikan perasaan-perasaan semacam itu tidak ada, niscaya umat manusia akan lenyap dari muka bumi, dan kedua orangtua tidak akan sabar memelihara anak-anak mereka, tidak mau mengasuh dan mendidik, tidak mau memperhatikan persoalan dan kepentingan-kepentingan anaknya.

Karenanya, tidak aneh jika al-Quran menggambarkan perasaan-perasaan yang benar ini dengan gambaran yang sebaik-baiknya. Sehingga sesekali al-Quran menggambarkan anak-anak sebagai perhiasan hidup, “Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia...” (QS. al-Kahfi: 46).

Sesekali al-Quran memandang mereka sebagai nikmat agung yang berhak untuk disyukuri kepada Allah Swt., “...dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak, dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar.” (QS. al-Isra: 6).

Sesekali pula memandangnya sebagai pelipur hati, bila saja mereka sejalan dengan orang-orang yang bertakwa, “Dan orang orang yang berkata: ‘Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (QS. al-Furqan: 74).

Masih banyak lagi ayat-ayat al-Quran yang mengilustrasikan perasaan-perasaan kedua orangtua terhadap anak dan membuka tabir kebenaran perasaan dan kecintaan hati mereka terhadap buah hati mereka. Semua itu tidak lain merupakan fitrah yang ada dalam diri manusia. “...(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan fitah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah...” (QS. ar-Rum: 30).

B. Kasih Sayang Terhadap Anak Merupakan Anugerah Allah Kepada Hamba
Di antara perasaan mulia yang ditanamkan Allah di dalam hati kedua orangtua itu adalah perasaan kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Perasaan ini merupakan kemuliaan baginya di dalam mendidik, mempersiapkan dan membina anak-anak untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesan yang besar.

Orang yang hatinya kosong dari perasaan kasih sayang akan bersifat keras dan kasar. Tidak diragukan lagi bahwa di dalam sifat-sifat yang buruk itu, akan terdapat membawa anak-anak ke dalam penyimpangan dan kebodohan.

Oleh karena itu, syariat Islam telah menanamkan tabiat kasih sayang di dalam hati, dan menganjurkan kepada para orangtua, para pendidik dan orang-orang yang bertanggung jawab atas pendidikan anak untuk memiliki sifat itu.

Rasulullah Saw. sangat memperhatikan masalah kasih sayang ini dalam beberapa sabdanya:

“Tidaklah termasuk golongan kami, orang-orang yang tidak mengasihi anak kecil di antara kami dan tidak mengetahui hak orang besar di antara kami.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Abu Hurairah Ra. mengatakan, “Nabi Saw. telah didatangi seorang laki-laki yang membawa seorang bayi. Kemudian beliau memeluknya dan bersabda, ‘Apakah engkau menyayanginya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Tentu saja’. Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya Allah lebih menyayanginya daripada kasih sayangmu terhadapnya. Sesungguhnya Dia Dzat Yang Maha Pengasih dibanding orang-orang yang mengasihi.” (HR. Bukhari).

Jika Rasulullah Saw. melihat salah seorang sahabatnya tidak mengasihi anak-anaknya, maka beliau mencemoohnya dan memberikan pengarahan perihal kebaikan rumah tangga, keluarga dan anak-anak.

Aisyah Ra. berkata, “Seorang A’rabi telah mendatangi Nabi Saw. dan berkata, ‘Apakah engkau menciumi anak-anakmu, sedang kami belum pernah melakukan hal itu’. Maka, Nabi Saw. bersabda, ‘Apakah engkau ingin Allah mencopot rasa kasih sayang dari hatimu?’” (HR. Bukhari).
Abu Hurairah Ra. berkata, “Rasulullah Saw. telah menciumi al-Hasan bin Ali. Ketika itu di sisi beliau duduk al-Aqra bin Habis at-Tamimi. Al-Aqra berkata, ‘Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak, tapi tak satu pun di antara mereka pernah aku cium’. Maka Rasulullah Saw. memandangnya dan bersabda, ‘Barangsiapa yang tidak mengasihi, tidak akan dikasihi’.” (HR. Bukhari).

Anas bin Malik Ra. berkata, “Seorang wanita telah mendatangi Aisyah Ra., kemudian Aisyah memberi tiga buah kurma kepada wanita itu, kemudian wanita itu memberi satu buah kurma kepada setiap anaknya. Dan ia sendiri memegang satu buah kurma. Dua orang anak memakan dua buah kurma itu dan melihat ibunya. Kemudian, sang ibu sengaja (memegang) kurma dan membelahnya, lalu memberikan setiap belahan kurma itu kepada masing-masing anak. Maka datanglah Nabi Saw. dan Aisyah memberitahukan kepadanya (apa yang dilakukan oleh wanita itu). Beliau bersabda, ‘Apa yang telah membuatmu heran dari perbuatannya itu? Sesungguhnya Allah telah mengasihi wanita itu disebabkan kasih sayang kepada anaknya’.” (HR. Bukhari).

Apabila Rasulullah Saw. melihat seorang anak kecil mendekati ajal, maka berlinanglah air matanya sebagai tanda kesedihan dan kasih sayangnya dan sebagai pelajaran bagi umat.

Usamah bin Ziad Ra. berkata, “Putri Nabi Saw. telah mengutus seorang kepada bapaknya untuk memberitahukan sekaligus berharap menjenguk putranya yang dalam keadaan sekarat. Maka Nabi Saw. mengutus seseorang kepadanya membacakan salam dan bersabda, ‘Sesungguhnya bagi Allah apa yang diambil(Nya) dan bagi Dialah apa yang diberi(Nya). Segala sesuatu mempunyai masa yang ditentukan baginya. Maka bersabarlah dan janganlah merasa kehilangan’.

Kemudian putrinya itu mengutus (utusan) kepadanya dengan bersumpah kepadanya agar beliau mendatanginya. Maka bangkitlah beliau bersama Sa’ad bin Ubadah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan kaum lelaki lainnya. Kemudian anak kecil itu di angkat kepada Rasulullah Saw. dan mendudukkan di dalam buaiannya, sedangkan nafasnya bergerak tersendat-sendat, sehingga berlinanglah airmata beliau. Sa’ad bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa artinya ini?’ Beliau bersabda, ‘Ini adalah kasih sayang yang telah Allah Swt. tanamkan di dalam hati para hamba-Nya’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tidaklah mengherankan apabila kasih sayang itu telah tertanam di dalam hati kedua orangtua. Mereka akan melaksanakan kewajibannya dan melindungi hak serta bertanggung jawab terhadap anak-anak, sebagai kewajiban yang telah dipikulkan Allah kepada mereka.

C. Membenci Anak Perempuan Sebagai Perbuatan Jahiliyah
Islam mengumandangkan persamaan derajat pria dan wanita dan tidak membedakan perlakuan kasih sayang dan keadilan keduanya. “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. al-Maidah: 8).

Juga sesuai dengan perintah Rasulullah Saw. yang bersabda, “Berbuat adillah di antara anak-anakmu, berbuat adillah di antara anak-anakmu, berbuat adillah di antara anak-anakmu.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).

Apabila di dalam masyarakat muslim terdapat orangtua yang memandang anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki, maka hal ini disebabkan oleh lingkungannya telah terserap dari kebiasaan jahiliyah dan tradisi sosial tercela.

Allah Swt. berfirman, “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. an-Nahl: 58-59).

Di samping itu, hal ini juga bisa disebabkan oleh lemahnya iman dan rapuhnya keyakinan. Yang demikian itu dikarenakan mereka tidak merasa rela menerima bagian yang diberikan Allah kepadanya, yakni kelahiran anak perempuan.

Allah Swt. berfirman, “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. asy-Syura: 49-50).

Dikisahkan, bahwa seorang menteri Arab yang bernama Abu Hamzah menikahi seorang wanita. Menteri itu mengharapkan istrinya melahirkan seorang anak untuknya. Tetapi, ternyata istrinya melahirkan seorang anak perempuan. Kemudian menteri itu meninggalkan rumah istrinya dan pindah ke rumah lain. setelah setahun si istri itu menyembunyikan anak perempuannya itu, tiba-tiba menteri itu melihat istrinya sedang mengajak bermain anaknya dengan membaca beberapa bait syair. Ia berkata di dalam syairnya:
Mengapa Abu Hamzah tidak datang kepada kita
Berdiam di sebuah rumah yang bukan rumah kita
Ia sangat marah karena kita tidak melahirkan anak pria
Demi Allah, hal itu di luar kekuasaan kita
Kita hanya mengambil apa yang telah diberikan kepada kita

Menteri tersebut kemudian memasuki rumahnya lagi setelah istrinya memberikan pelajaran kepadanya tentang keimanan, keridhaan dan keyakinan. Kemudian mencium kening istri dan putrinya. Dia rela atas pemberian Allah yang telah ditentukan baginya.

Rasulullah Saw. telah mencabut akar budaya jahiliyah yang mengecualikan anak perempuan dari anak laki-laki. Beliau memerintahkan kepada para orangtua dan pendidik untuk menemani, memelihara dan bertanggung jawab atas urusan-urusan mereka secara baik, agar mereka termasuk ahli surga.

Berikut penulis sajikan sunnah Rasulullah Saw. tentang kewajiban dan memperhatikan anak perempuan.

“Siapa saja yang memelihara dua orang anak perempuan hingga mereka berdua balig, maka pada hari kiamat dia dan aku bagaikan dua ini – beliau menggenggam jari jemarinya.” (HR. Muslim).

“Siapa yang mempunyai tiga orang anak perempuan, kemudian ia bersabar terhadap mereka, memberikan minum dan pakaian kepada mereka (dari hartanya), maka mereka itu akan menjadi pelindung dari api neraka.” (HR. Ahmad).

“Siapa yang mempunyai tiga anak wanita atau tiga saudara wanita atau dua anak wanita atau dua saudara wanita, kemudian ia memperlakukan mereka secara baik dan bersabar terhadap mereka serta bertakwa kepada Allah, maka ia akan masuk surga.” (HR. Al-Humaidi)

Rabu, 01 April 2009

Pernikahan dan Pendidikan Anak (2)

C. Pernikahan Selektif
Dengan syariatnya yang tinggi dan undang-undangnya yang universal, Islam meletakkan kaidah-kaidah dan hukum-hukum bagi masing-masing pelamar dan yang dilamar. Apabila petunjuk itu dilaksanakan, maka pernikahan akan berada pada puncak keharmonisan, cinta, dan keserasian. Di samping itu, keluarga akan berada pada puncak keimanan yang kokoh, badan yang sehat, akhlak yang mulia, pikiran yang matang dan jiwa yang tenang dan bersih.
Berikut ini kaidah-kaidah dalam memilih calon pendamping hidup:

1. Memilih berdasarkan agama.
Yang dimaksud agama di sini adalah pemahaman yang hakiki terhadap Islam dan penerapan setiap keutamaan dan moralitasnya yang tinggi dalam perbuatan dan tingkah laku, serta melaksanakan syariat dan prinsip-prinsipnya secara sempurna untuk selama-lamanya.

Ketika pelamar atau yang dilamar telah mencapai taraf pemahaman dan pelaksanaan seperti ini, maka kita akan menyebut masing-masing di antara mereka sebagai orang yang memiliki agama dan moral. Dan apabila salah seorang di antara mereka belum mencapai taraf pemahaman dan pelaksanaan seperti ini, maka selayaknya kita menghukuminya sebagai orang yang menyeleweng dan berperilaku buruk. Sekalipun dalam hal ini ia tampak sebagai seorang yang baik, takwa dan mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim yang berkeyakinan kuat.

Alangkah mendalamnya apa yang dilakukan oleh khalifah yang adil, Umar bin Khaththab Ra. ketika meletakkan pertimbangan yang benar untuk mengetahui hakikat kebenaran seseorang. Yaitu ketika ia didatangi oleh seseorang yang menjadi saksi bagi orang lain:

Umar bertanya kepada laki-laki itu, “Apakah engkau mengetahui orang ini?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya!”
Umar bertanya, “Apakah engkau tetangganya yang mengetahui keluar dan masuknya orang itu?”
Laki-laki itu menjawab, “Bukan.”
Umar bertanya, “Apakah engkau pernah menemaninya dalam perjalanan, sehingga engkau mengetahui kemuliaan akhlaknya?”
Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”
Umar, “Apakah engkau telah menjadikannya pegawai dengan diberi dinar dan dirham, sehingga kesalehan seseorang dapat diketahui?”
Laki-laki itu mengaku, “Tidak.”
Kemudian Umar berteriak, “Mungkin engkau pernah melihatnya berdiri dan shalat di masjid, sesekali mengangkat kepalanya dan sesekali merendahkannya?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya!”
Umar berkata pada laki-laki itu, “Pergilah! Sesungguhnya engkau tidak mengenal orang ini.”
Kemudian Umar menoleh kepada orang itu dan berkata kepadanya, “Ajukan saksi lain yang mengenal dirimu.”

Umar Ra. belum pernah tertipu oleh bentuk lahir seseorang. Tetapi ia mengetahui hakikat kebenaran dengan pemahaman dan pertimbangan yang benar. inilah makna yang diambil dari hadits Rasulullah Saw., “Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk dan badan kamu, tetapi Dia menilai hati dan perbuatan kamu.” (HR. Muslim)

Berdasarkan petunjuk ini, maka hendaknya laki-laki yang ingin menikah, benar-benar memilih wanita yang memiliki agama, agar menjadi istri yang menjalankan kewajibannya dalam memenuhi hak suami, anak, dan rumah sebagaimana yang diperintahkan Islam. Rasulullah Saw. bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Dapatkanlah wanita yang memiliki agama, niscaya kedua tanganmu akan penuh dengan debu (taribat yadaak).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kata taribat yadaak adalah kalimat yang menyatakan anjuran dan doa semoga mendapatkan banyak harta. Jadi, kalimat itu menjadi, “Dapatkanlah wanita yang beragama (Islam) dan janganlah berpaling kepada harta atau yang lain.”

Sebaliknya, Nabi Saw. juga memberikan petunjuk kepada para wali wanita yang dilamar untuk mencarikan pelamar yang memiliki agama dan akhlak, sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya secara sempurna sebagai suami dan di dalam membina rumah tangga. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang agama dan akhlaknya kamu ridhai, maka nikahkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya, maka akan menjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. Tirmidzi).

Fitnah apakah yang lebih besar daripada fitnah jatuhnya gadis mukminah dalam cengkeraman seorang pelamar yang fasik, atau seorang suami yang tidak mau memberikan tanggung jawab dan perlindungan kepada gadis mukminah?

Berapa banyak gadis-gadis yang sewaktu berada di rumah keluarganya menjadi teladan dalam kesucian dan kehormatan, namun ketika ia pindah ke rumah suami yang fasik dan durhaka, ia berbalik menjadi seorang wanita liar dan bebas. Sedikitpun ia tidak menghargai nilai-nilai moralitas, tidak pula menghargai arti kesucian dan kemuliaan.

Sudah kita maklumi bahwa anak-anak yang lahir dan dibesarkan di dalam rumah seorang fasik dan durhaka, pasti akan lahir dan tumbuh menjadi orang-orang yang menyimpang akhlaknya, dan akan mendapatkan pendidikan kebejatan dan kemungkaran.

Dengan demikian, pilihan berdasarkan agama dan akhlak adalah salah satu faktor terpenting yang akan mewujudkan kebahagiaan secara sempurna bagi sebuah rumahtangga.

2. Memilih berdasarkan keturunan dan kemuliaan
Di antara kaidah-kaidah yang telah ditetapkan Islam adalah, memilih jodoh dari keturunan atau keluarga mulia yang dikenal mempunyai kebaikan, akhlak dan keturunan mulia. Berikut kami sajikan hadits-hadits yang saling menguatkan.

“Jauhilah oleh kalian rumput hijau yang berada di tempat kotor.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan rumput hijau yang berada di tempat kotor itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu, wanita yang sangat cantik, yang tumbuh berkembang di tempat yang tidak baik.” (HR. Daruquthni)

“Seleksilah untuk air mani (calon istri) kamu sekalian dan nikahilah oleh kamu sekalian orang-orang yang sama derajatnya.” (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim)

“Seleksilah untuk air mani (calon istri) kamu sekalian. Karena sesungguhnya keturunan itu kuat pengaruhnya.” (HR. Ibnu Majah dan ad-Dailami).

“Nikahilah olehmu wanita yang baik. Sebab, sesungguhnya keturunan itu kuat pengaruhnya.” (HR. Ibnu Adi).

Hadits-hadits ini memberikan petunjuk kepada orang-orang yang ingin menikah untuk memilih istri yang tumbuh dalam lingkungan positif dan besar dalam rumah penuh kemuliaan, serta diturunkan dari air mani yang terpancar dari sumber yang mulia.

Hal ini mengandung hikmah agar seorang istri dapat melahirkan anak-anak yang berakhlak mulia. Dari ibu-ibunya, mereka dapat menghirup air susu kemuliaan dan keutamaan. Dengan cara yang suci, mereka dapat mencari sifat-sifat yang baik dan akhlak mulia.

Bertolak dari prinsip ini, Utsman bin Abil Ash ats-Tsaqafi telah berwasiat kepada anak-anaknya untuk memilih sumber air mani yang baik dan manjauhi sumber yang buruk. Dia berkata kepada mereka, “Wahai anakku yang ingin menikah dan menanam (bibit keturunan), hendaklah seseorang memperhatikan di mana ia menanam tanamannya. Sebab, akar yang buruk itu sedikit sekali dapat melahirkan. Maka pilihlah, walaupun memerlukan waktu yang lama.”

Sebagai penekanan terhadap anjuran memilih ini, Umar bin Khaththab telah menjawab pertanyaan salah seorang anak yang menanyakan kepadanya tentang hak anak terhadap bapaknya. Umar berkata, “Agar bapaknya menyeleksi ibunya, memberinya nama yang baik dan mengajarkan al-Quran kepadanya.”

Keharusan memilih seperti yang dikemukakan Rasulullah Saw. ini berkesesuaian dengan kebenaran ilmiah pada abad modern ini. Ilmu yang membahas tentang heriditas (keturunan) telah menetapkan, bahwa anak akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orang tuanya, baik moral, fisikal maupun intelektual, sejak masa kelahiran.

Tidak ada jalan lain bagi orang-orang yang ingin menikah kecuali mereka mencari pilihan yang baik untuk pasangan hidup mereka, jika mereka ingin memiliki keturunan yang baik dan beriman.

3. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam pernikahan
Di antara pengarahan Islam yang bijaksana adalah, mengutamakan wanita yang jauh dari kekerabatan. Hal ini dimaksudkan demi keselamatan fisik anak dan penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara heriditas, di samping untuk memperluas lingkungan kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw. telah bersabda, “Janganlah kalian menikahi kaum kerabat, sebab akan dapat menurunkan anak yang lemah jasmani dan bodoh.”

Sabdanya yang lain menyebutkan, “Carilah untuk kalian wanita-wanita yang jauh, dan janganlah mencari wanita-wanita dekat.”

Perintah ini berkesesuaian dengan ilmu genetika yang menetapkan, bahwa pernikahan dengan kerabat akan melahirkan keturunan yang lemah, baik fisik maupun kecerdasannya.

4. Lebih mengutamakan wanita yang masih gadis
Di antara ajaran Islam yang sangat tepat dalam memilih istri adalah, mengutamakan gadis dibandingkan janda. Yang demikian itu dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung.

Di antara manfaat tersebut adalah, melindungi keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, yang menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan dan menyebarkan kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan cinta kasih suami istri. Sebab, gadis itu akan memberikan sepenuhnya kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki pertama yang melindunginya, menemui dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda. Kadangkala dari suaminya yang kedua, ia tidak mendapatkan kelembutan yang sempurna, kecintaan yang menggantikan kecintaan dari suami pertama dan pertautan hati yang sesungguhnya.

Tidak aneh bila kita melihat Aisyah Ra. telah memberikan kepada Nabi Saw. makna semua ini, ketika ia berkata kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah Saw., bagaimana pendapatmu jika engkau turun pada suatu lembah yang di dalamnya terdapat sebatang pohon yang telah dimakan sebagian daripadanya dan sebatang yang lain yang belum dimakan daripadanya. Di mana engkau akan menggembalakan untamu?” Rasulullah Saw. menjawab, “Pada pohon yang belum pernah digembalakan daripadanya.” Aisyah Ra. berkata, “Maka aku ini adalah pohon (yang masih utuh dan belum digembalakan daripadanya) itu.” (HR. Bukhari).

Aisyah bermaksud menjelaskan keutamaannya dibanding istri-istri Rasulullah yang lain. Sebab Rasulullah Saw. tidak pernah menikahi gadis, kecuali Aisyah.

Rasulullah Saw. telah menjelaskan sebagian hikmah menikahi gadis. Beliau bersabda, “Nikahilah oleh kamu sekalian gadis-gadis. Sebab, mereka itu lebih manis pembicaraannya, lebih banyak melahirkan anak, lebih sedikit tuntutan dan tipuan, serta lebih menyukai kemudahan.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

Dalam hadits lain disebutkan: Rasulullah Saw. bertanya kepada Jabir – ketika ia kembali perang dari Dzatur Riqa’, “Hai Jabir, apakah engkau telah menikah?” Jabir menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau kembali bertanya, “Janda atau gadis?” Jabir menjawab, “Janda.” Tanya beliau lagi, “Mengapa bukan seorang hamba (jariyah) saja yang dapat kau permainkan dan dia mempermainkan engkau?” Jabir berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku tertawan pada waktu perang Uhud dan mewariskan tujuh wanita bagi kami. Maka saya nikahi satu orang yang mencakup keseluruhannya (serba bisa) mewakili mereka dan bertanggung jawab atas mereka.” Beliau bersabda, “Insya Allah engkau benar.”

Di antara yang diisyaratkan oleh hadits Jabir adalah bahwa menikahi janda kadangkala lebih utama daripada mengawini gadis dalam beberapa keadaan, seperti keadaan Jabir Ra. yang telah disebut tadi, demi menolong, memelihara dan bertanggung jawab atas anak-anak yatim, sebagai realisasi firman Allah Swt., “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. al-Maidah: 2).

5. Mengutamakan pernikahan dengan wanita subur
Di antara ajaran Islam di dalam memilih istri adalah memilih wanita subur yang banyak melahirkan anak. Dan hal ini dapat diketahui dengan dua cara:
Pertama, kesehatan fisiknya dari penyakit-penyakit yang mencegahnya dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu, dapat meminta bantuan kepada dokter spesialis kandungan.

Kedua, melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuannya yang telah menikah. Sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak, maka biasanya wanita itu pun akan seperti mereka.

Sebagaimana yang dapat diketahui secara medis, bahwa wanita yang termasuk banyak melahirkan anak, biasanya mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat. Wanita yang mempunyai tanda-tanda seperti ini dapat memikul beban rumah tangganya, kewajiban-kewajiban mendidik anak dan memikul hak-hak sebagai istri secara sempurna.

Di antara yang perlu diingat di sini adalah, bagi orang yang menikahi banyak anak, dan suka mempunyai banyak keturunan, hendaklah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab, baik yang berkenaan dengan memberikan nafkah, tanggung jawab mendidik maupun tanggung jawab mengajar.

Rasulullah Saw. bersabda, “Nikahilah olehmu sekalian wanita-wanita subur yang banyak melahirkan anak dan penuh kecintaan. Karena sesungguhnya aku ingin memperbanyak umat dengan kamu sekalian.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).

Itulah prinsip-prinsip pernikahan dan kaitannya dengan masalah pendidikan yang terpenting. Dengan pernikahan itu, ia telah meletakkan batu fondasi di dalam rumahnya, yang mana di atas batu itu akan berdiri pusat-pusat pendidikan yang tepat, tiang-tiang perbaikan sosial dan masyarakat yang berkepribadian. Batu itu adalah wanita salehah. Dengan demikian, pendidikan anak di dalam Islam harus dimulai sejak dini, yakni dengan pernikahan ideal yang berlandaskan prinsip-prinsip yang secara tetap mempunyai pengaruh terhadap pendidikan dan pembinaan generasi.