Senin, 30 Maret 2009

Pernikahan dan Pendidikan Anak

Membahas masalah pendidikan anak, tentu membahas sebuah tema yang cukup besar. Ia tidak hanya terpusat pada masalah anak itu sendiri, tetapi juga menyebar hingga masalah orangtua dan lingkungannya. Oleh karena itu, kita butuh pembahasan yang lebih komprehensif di dasarkan pada dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah, dan warisan peninggalan salafus saleh.

Pembahasan yang pertama kita mulai dari peran pernikahan dalam pendidikan anak. Hal ini mengingat bahwa penyajian aspek-aspek seperti ini akan dapat menjelaskan letak pertautan antara pendidik dengan memikul tanggung jawab, melahirkan anak, mengakui keturunan anak, memelihara keselamatan jasmani dan akhlak, menumbuhkan perasaan kasih sayang kedua orangtua kepada anak, saling membantu antara suami istri dalam mendidik anak, meluruskan kenakalan-kenakalannya serta mempersiapkannya agar menjadi manusia yang berguna bagi kehidupan.

A. Pernikahan Sebagai Fitrah Manusia
Salah satu konsep Islam adalah menentang adanya kerahiban. Yaitu tidak mau menikah. Karena, hal itu bertentangan dengan fitrah manusia, kecenderungan, dan nalurinya. Rasulullah Saw. telah bersabda, “Siapa saja yang mampu untuk menikah, namun ia tidak menikah, maka tidaklah ia termasuk golonganku.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).

Berdasarkan hadits ini, dapat pembaca simpulkan bahwa Islam mengharamkan seorang muslim untuk tidak menikah. Lebih-lebih apabila seorang muslim itu mampu melaksanakannya tanpa kesulitan apa pun.

Apabila kita renungkan sikap Rasulullah Saw. dalam memelihara kepentingan individu-individu di dalam masyarakat dan menanggulangi kebutuhan jiwa manusia, maka kita akan semakin yakin bahwa pemeliharan dan penanggulangan ini. Dengan demikian, setiap individu di dalam masyarakat tidak akan melanggar batas-batas fitrah dan tidak akan melakukan hal yang berada di luar kemampuannya. Bahkan dia akan berjalan di jalan yang benar, mudah, alami, lurus, dan sesuai dengan fitrahnya. Dia tidak akan mundur ketika orang lain terus maju, dan tidak akan lemah ketika yang lainnya kuat.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Rum: 30).

Dari nash ini tampak jelas bagi setiap orang yang berakal, bahwa di dalam Islam pernikahan adalah fitrah manusia agar seorang muslim dapat memikul tanggung jawab besar di dalam dirinya atas orang yang berhak mendapatkan pendidikan dan pemeliharaan.

B. Pernikahan Sebagai Kemaslahatan Sosial
Mengapa pernikahan dianggap sebagai kemaslahatan sosial? Mari kita bahas tema ini satu persatu.

1. Melindungi kelangsungan umat manusia
Dengan pernikahan, umat manusia akan semakin banyak dan berkesinambungan, hingga tiba hari kiamat nanti. Tidak diragukan lagi bahwa di dalam kelestarian dan kesinambungan ini, terdapat suatu pemeliharaan terhadap kelangsungan hidup umat manusia dan terdapat suatu motivasi bagi kaum intelektual untuk meletakkan metode-metode pendidikan yang benar, baik dari aspek rohani maupun jasmani. Al-Quran telah menjelaskan tentang hikmah sosial dan maslahat kemanusiaan ini, dengan firman-Nya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu.” (QS. an-Nahl: 72).

2. Melindungi keturunan
Melalui pernikahan yang telah disyariatkan Allah kepada hamba-Nya, anak-anak akan merasa bangga dengan pertalian keurunannya kepada ayah mereka. Dengan pertalian itu, terdapat penghargaan terhadap diri mereka sendiri, kestabilan jiwa dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan mereka. Sekiranya tidak ada pernikahan yang disyariatkan Allah, niscaya masyarakat akan penuh dengan anak-anak yang tidak memiliki kehormatan dan keturunan. Yang demikian itu adalah kehancuran bagi nilai-nilai moralitas yang menyebabkan timbulnya kerusakan dan sikap permisif.

3. Melindungi masyarakat dari dekadensi moral
Dengan pernikahan, masyarakat akan selamat dari dekadensi moral, di samping akan merasa aman dari berbagai keretakan sosial. Bagi orang yang memiliki pemahaman, akan tampak jelas bahwa jika kecenderungan naluri lain jenis itu dipuaskan dengan pernikahan yang disyariatkan dengan hubungan yang halal, maka umat – baik secara individual maupun komunal – akan merasa tenteram dengan moralitas yang tinggi dan akhlak mulia. Dengan demikian masyarakat dapat melaksanakan risalah sekaligus mampu melaksanakan tanggung jawab yang dituntut oleh Allah. Alangkah tepatnya sabda Rasulullah Saw. tentang hikmah moral dalam pernikahan dan dampak sosialnya, yaitu ketika beliau menganjurkan sekelompok pemuda untuk menikah:

“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian sudah mampu menikah, maka menikahlah. Sebab, pernikahan itu akan dapat lebih memelihara pandangan dan menjaga kemaluan. Dan siapa saja yang belum mampu untuk menikah, maka hendaklah ia berpuasa. Karena sesungguhnya berpuasa itu dapat menekan hawa nafsu.” (HR. Jama’ah).

4. Melindungi masyarakat dari penyakit
Dengan pernikahan, masyarakat akan selamat dari penyakit menular yang sangat berbahaya dan dapat membunuh, akibat dari perzinahan, dan selamat dari merajalelanya perbuatan keji serta hubungan bebas secara haram. Di antara penyakit tersebut adalah penyakit sipylis, AIDS, kencing nanah, dan berbagai penyakit berbahaya lainnya yang membunuh keturunan, melemahkan fisik, menyebarkan wabah dan menghancurkan kesehatan anak-anak.

5. Menumbuhkan ketenteraman rohani dan jiwa
Dengan pernikahan, akan tumbuh semangat cinta kasih dan kebersamaan antara suami istri. Ketika seorang suami selesai menunaikan pekerjaannya pada sore hari, maka ia akan beristirahat di malam harinya, berkumpul bersama keluarga dan anak-anaknya, ia akan melupakan segala keresahan yang dialaminya di siang hari, dan segala kelelahan yang dialaminya selama bekerja akan hilang. Demikian pula halnya dengan istri ketika ia berkumpul dengan suami dan menyongsong malam hari sebagai pendamping hidupnya.

Demikianlah, masing-masing mendapatkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan pernikahan. Allah Swt. telah mengilustrasikan fenomena ini dengan keterangan yang sangat sempurna dan sangat indah:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21).

6. Kerjasama suami istri dalam membina rumahtangga dan mendidik anak
Dengan pernikahan, suami istri akan bekerja sama dalam membina rumahtangga dan memikul tanggung jawab. Keduanya akan menyempurnakan pekerjaan yang lain. Istri mengerjakan tugasnya sesuai dengan kodrat kewanitaannya; yakni mengurus rumah dan mendidik anak. Seorang bijak pernah berkata, “Ibu adalah sebuah sekolah yang apabila engkau persiapkan dia, berarti engkau telah mempersiapkan suatu bangsa dengan dasar yang baik.”

Demikian pula dengan suami, ia akan mengerjakan tugas yang khusus dengan tabiat dan kelelakiannya; yaitu bekerja demi keluarganya, mengerjakan pekerjaan berat dan melindungi keluarga dari bermacam-macam kerusakan setiap saat.

Dalam hal ini, jiwa tolong-menolong antara suami istri tampak sempurna, keduanya berusaha mencapai hasil yang paling utama dan buah yang paling baik di dalam mempersiapkan anak-anak saleh, dan mendidik generasi muslim yang di dalam hatinya membawa kekuatan iman dan di dalam jiwanya membawa ruh Islam. Bahkan seluruh anggota keluarga akan merasa nikmat, sejuk dan tenteram dalam naungan cinta kasih, kebahagiaan dan ketenteraman.

7. Menumbuhkembangkan rasa kebapakan dan keibuan
Rasa cinta kasih yang terpancar di tengah-tengah rumahtangga akan memberikan pengaruh mulia dan hasil yang positif di dalam memelihara anak-anak, mengawasi kemaslahatan mereka, serta bangkit bersama mereka menuju kehidupan yang tenteram dan aman, menyongsong masa depan yang cerah dan mulia.

Itulah semua kemaslahatan sosial yang lahir dari pernikahan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika syariat Islam memerintahkan, menganjurkan, dan menyenangi pernikahan. Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah Saw.:

“Tidak ada sesuatu yang lebih berguna bagi muslim setelah takwa kepada Allah daripada istri salehah yang apabila suami memerintahkannya, ia mematuhinya; apabila suami memandangnya, maka ia menyenangkannya; apabila suami menggilirnya, maka ia mematuhinya, dan apabila suami bepergian darinya, maka ia memelihara diri dan harta (suami)nya.” (HR. Ibnu Majah).

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar