Rabu, 01 April 2009

Pernikahan dan Pendidikan Anak (2)

C. Pernikahan Selektif
Dengan syariatnya yang tinggi dan undang-undangnya yang universal, Islam meletakkan kaidah-kaidah dan hukum-hukum bagi masing-masing pelamar dan yang dilamar. Apabila petunjuk itu dilaksanakan, maka pernikahan akan berada pada puncak keharmonisan, cinta, dan keserasian. Di samping itu, keluarga akan berada pada puncak keimanan yang kokoh, badan yang sehat, akhlak yang mulia, pikiran yang matang dan jiwa yang tenang dan bersih.
Berikut ini kaidah-kaidah dalam memilih calon pendamping hidup:

1. Memilih berdasarkan agama.
Yang dimaksud agama di sini adalah pemahaman yang hakiki terhadap Islam dan penerapan setiap keutamaan dan moralitasnya yang tinggi dalam perbuatan dan tingkah laku, serta melaksanakan syariat dan prinsip-prinsipnya secara sempurna untuk selama-lamanya.

Ketika pelamar atau yang dilamar telah mencapai taraf pemahaman dan pelaksanaan seperti ini, maka kita akan menyebut masing-masing di antara mereka sebagai orang yang memiliki agama dan moral. Dan apabila salah seorang di antara mereka belum mencapai taraf pemahaman dan pelaksanaan seperti ini, maka selayaknya kita menghukuminya sebagai orang yang menyeleweng dan berperilaku buruk. Sekalipun dalam hal ini ia tampak sebagai seorang yang baik, takwa dan mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim yang berkeyakinan kuat.

Alangkah mendalamnya apa yang dilakukan oleh khalifah yang adil, Umar bin Khaththab Ra. ketika meletakkan pertimbangan yang benar untuk mengetahui hakikat kebenaran seseorang. Yaitu ketika ia didatangi oleh seseorang yang menjadi saksi bagi orang lain:

Umar bertanya kepada laki-laki itu, “Apakah engkau mengetahui orang ini?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya!”
Umar bertanya, “Apakah engkau tetangganya yang mengetahui keluar dan masuknya orang itu?”
Laki-laki itu menjawab, “Bukan.”
Umar bertanya, “Apakah engkau pernah menemaninya dalam perjalanan, sehingga engkau mengetahui kemuliaan akhlaknya?”
Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”
Umar, “Apakah engkau telah menjadikannya pegawai dengan diberi dinar dan dirham, sehingga kesalehan seseorang dapat diketahui?”
Laki-laki itu mengaku, “Tidak.”
Kemudian Umar berteriak, “Mungkin engkau pernah melihatnya berdiri dan shalat di masjid, sesekali mengangkat kepalanya dan sesekali merendahkannya?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya!”
Umar berkata pada laki-laki itu, “Pergilah! Sesungguhnya engkau tidak mengenal orang ini.”
Kemudian Umar menoleh kepada orang itu dan berkata kepadanya, “Ajukan saksi lain yang mengenal dirimu.”

Umar Ra. belum pernah tertipu oleh bentuk lahir seseorang. Tetapi ia mengetahui hakikat kebenaran dengan pemahaman dan pertimbangan yang benar. inilah makna yang diambil dari hadits Rasulullah Saw., “Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk dan badan kamu, tetapi Dia menilai hati dan perbuatan kamu.” (HR. Muslim)

Berdasarkan petunjuk ini, maka hendaknya laki-laki yang ingin menikah, benar-benar memilih wanita yang memiliki agama, agar menjadi istri yang menjalankan kewajibannya dalam memenuhi hak suami, anak, dan rumah sebagaimana yang diperintahkan Islam. Rasulullah Saw. bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Dapatkanlah wanita yang memiliki agama, niscaya kedua tanganmu akan penuh dengan debu (taribat yadaak).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kata taribat yadaak adalah kalimat yang menyatakan anjuran dan doa semoga mendapatkan banyak harta. Jadi, kalimat itu menjadi, “Dapatkanlah wanita yang beragama (Islam) dan janganlah berpaling kepada harta atau yang lain.”

Sebaliknya, Nabi Saw. juga memberikan petunjuk kepada para wali wanita yang dilamar untuk mencarikan pelamar yang memiliki agama dan akhlak, sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya secara sempurna sebagai suami dan di dalam membina rumah tangga. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang agama dan akhlaknya kamu ridhai, maka nikahkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya, maka akan menjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. Tirmidzi).

Fitnah apakah yang lebih besar daripada fitnah jatuhnya gadis mukminah dalam cengkeraman seorang pelamar yang fasik, atau seorang suami yang tidak mau memberikan tanggung jawab dan perlindungan kepada gadis mukminah?

Berapa banyak gadis-gadis yang sewaktu berada di rumah keluarganya menjadi teladan dalam kesucian dan kehormatan, namun ketika ia pindah ke rumah suami yang fasik dan durhaka, ia berbalik menjadi seorang wanita liar dan bebas. Sedikitpun ia tidak menghargai nilai-nilai moralitas, tidak pula menghargai arti kesucian dan kemuliaan.

Sudah kita maklumi bahwa anak-anak yang lahir dan dibesarkan di dalam rumah seorang fasik dan durhaka, pasti akan lahir dan tumbuh menjadi orang-orang yang menyimpang akhlaknya, dan akan mendapatkan pendidikan kebejatan dan kemungkaran.

Dengan demikian, pilihan berdasarkan agama dan akhlak adalah salah satu faktor terpenting yang akan mewujudkan kebahagiaan secara sempurna bagi sebuah rumahtangga.

2. Memilih berdasarkan keturunan dan kemuliaan
Di antara kaidah-kaidah yang telah ditetapkan Islam adalah, memilih jodoh dari keturunan atau keluarga mulia yang dikenal mempunyai kebaikan, akhlak dan keturunan mulia. Berikut kami sajikan hadits-hadits yang saling menguatkan.

“Jauhilah oleh kalian rumput hijau yang berada di tempat kotor.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan rumput hijau yang berada di tempat kotor itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu, wanita yang sangat cantik, yang tumbuh berkembang di tempat yang tidak baik.” (HR. Daruquthni)

“Seleksilah untuk air mani (calon istri) kamu sekalian dan nikahilah oleh kamu sekalian orang-orang yang sama derajatnya.” (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim)

“Seleksilah untuk air mani (calon istri) kamu sekalian. Karena sesungguhnya keturunan itu kuat pengaruhnya.” (HR. Ibnu Majah dan ad-Dailami).

“Nikahilah olehmu wanita yang baik. Sebab, sesungguhnya keturunan itu kuat pengaruhnya.” (HR. Ibnu Adi).

Hadits-hadits ini memberikan petunjuk kepada orang-orang yang ingin menikah untuk memilih istri yang tumbuh dalam lingkungan positif dan besar dalam rumah penuh kemuliaan, serta diturunkan dari air mani yang terpancar dari sumber yang mulia.

Hal ini mengandung hikmah agar seorang istri dapat melahirkan anak-anak yang berakhlak mulia. Dari ibu-ibunya, mereka dapat menghirup air susu kemuliaan dan keutamaan. Dengan cara yang suci, mereka dapat mencari sifat-sifat yang baik dan akhlak mulia.

Bertolak dari prinsip ini, Utsman bin Abil Ash ats-Tsaqafi telah berwasiat kepada anak-anaknya untuk memilih sumber air mani yang baik dan manjauhi sumber yang buruk. Dia berkata kepada mereka, “Wahai anakku yang ingin menikah dan menanam (bibit keturunan), hendaklah seseorang memperhatikan di mana ia menanam tanamannya. Sebab, akar yang buruk itu sedikit sekali dapat melahirkan. Maka pilihlah, walaupun memerlukan waktu yang lama.”

Sebagai penekanan terhadap anjuran memilih ini, Umar bin Khaththab telah menjawab pertanyaan salah seorang anak yang menanyakan kepadanya tentang hak anak terhadap bapaknya. Umar berkata, “Agar bapaknya menyeleksi ibunya, memberinya nama yang baik dan mengajarkan al-Quran kepadanya.”

Keharusan memilih seperti yang dikemukakan Rasulullah Saw. ini berkesesuaian dengan kebenaran ilmiah pada abad modern ini. Ilmu yang membahas tentang heriditas (keturunan) telah menetapkan, bahwa anak akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orang tuanya, baik moral, fisikal maupun intelektual, sejak masa kelahiran.

Tidak ada jalan lain bagi orang-orang yang ingin menikah kecuali mereka mencari pilihan yang baik untuk pasangan hidup mereka, jika mereka ingin memiliki keturunan yang baik dan beriman.

3. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam pernikahan
Di antara pengarahan Islam yang bijaksana adalah, mengutamakan wanita yang jauh dari kekerabatan. Hal ini dimaksudkan demi keselamatan fisik anak dan penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara heriditas, di samping untuk memperluas lingkungan kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw. telah bersabda, “Janganlah kalian menikahi kaum kerabat, sebab akan dapat menurunkan anak yang lemah jasmani dan bodoh.”

Sabdanya yang lain menyebutkan, “Carilah untuk kalian wanita-wanita yang jauh, dan janganlah mencari wanita-wanita dekat.”

Perintah ini berkesesuaian dengan ilmu genetika yang menetapkan, bahwa pernikahan dengan kerabat akan melahirkan keturunan yang lemah, baik fisik maupun kecerdasannya.

4. Lebih mengutamakan wanita yang masih gadis
Di antara ajaran Islam yang sangat tepat dalam memilih istri adalah, mengutamakan gadis dibandingkan janda. Yang demikian itu dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung.

Di antara manfaat tersebut adalah, melindungi keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, yang menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan dan menyebarkan kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan cinta kasih suami istri. Sebab, gadis itu akan memberikan sepenuhnya kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki pertama yang melindunginya, menemui dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda. Kadangkala dari suaminya yang kedua, ia tidak mendapatkan kelembutan yang sempurna, kecintaan yang menggantikan kecintaan dari suami pertama dan pertautan hati yang sesungguhnya.

Tidak aneh bila kita melihat Aisyah Ra. telah memberikan kepada Nabi Saw. makna semua ini, ketika ia berkata kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah Saw., bagaimana pendapatmu jika engkau turun pada suatu lembah yang di dalamnya terdapat sebatang pohon yang telah dimakan sebagian daripadanya dan sebatang yang lain yang belum dimakan daripadanya. Di mana engkau akan menggembalakan untamu?” Rasulullah Saw. menjawab, “Pada pohon yang belum pernah digembalakan daripadanya.” Aisyah Ra. berkata, “Maka aku ini adalah pohon (yang masih utuh dan belum digembalakan daripadanya) itu.” (HR. Bukhari).

Aisyah bermaksud menjelaskan keutamaannya dibanding istri-istri Rasulullah yang lain. Sebab Rasulullah Saw. tidak pernah menikahi gadis, kecuali Aisyah.

Rasulullah Saw. telah menjelaskan sebagian hikmah menikahi gadis. Beliau bersabda, “Nikahilah oleh kamu sekalian gadis-gadis. Sebab, mereka itu lebih manis pembicaraannya, lebih banyak melahirkan anak, lebih sedikit tuntutan dan tipuan, serta lebih menyukai kemudahan.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

Dalam hadits lain disebutkan: Rasulullah Saw. bertanya kepada Jabir – ketika ia kembali perang dari Dzatur Riqa’, “Hai Jabir, apakah engkau telah menikah?” Jabir menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau kembali bertanya, “Janda atau gadis?” Jabir menjawab, “Janda.” Tanya beliau lagi, “Mengapa bukan seorang hamba (jariyah) saja yang dapat kau permainkan dan dia mempermainkan engkau?” Jabir berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku tertawan pada waktu perang Uhud dan mewariskan tujuh wanita bagi kami. Maka saya nikahi satu orang yang mencakup keseluruhannya (serba bisa) mewakili mereka dan bertanggung jawab atas mereka.” Beliau bersabda, “Insya Allah engkau benar.”

Di antara yang diisyaratkan oleh hadits Jabir adalah bahwa menikahi janda kadangkala lebih utama daripada mengawini gadis dalam beberapa keadaan, seperti keadaan Jabir Ra. yang telah disebut tadi, demi menolong, memelihara dan bertanggung jawab atas anak-anak yatim, sebagai realisasi firman Allah Swt., “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. al-Maidah: 2).

5. Mengutamakan pernikahan dengan wanita subur
Di antara ajaran Islam di dalam memilih istri adalah memilih wanita subur yang banyak melahirkan anak. Dan hal ini dapat diketahui dengan dua cara:
Pertama, kesehatan fisiknya dari penyakit-penyakit yang mencegahnya dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu, dapat meminta bantuan kepada dokter spesialis kandungan.

Kedua, melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuannya yang telah menikah. Sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak, maka biasanya wanita itu pun akan seperti mereka.

Sebagaimana yang dapat diketahui secara medis, bahwa wanita yang termasuk banyak melahirkan anak, biasanya mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat. Wanita yang mempunyai tanda-tanda seperti ini dapat memikul beban rumah tangganya, kewajiban-kewajiban mendidik anak dan memikul hak-hak sebagai istri secara sempurna.

Di antara yang perlu diingat di sini adalah, bagi orang yang menikahi banyak anak, dan suka mempunyai banyak keturunan, hendaklah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab, baik yang berkenaan dengan memberikan nafkah, tanggung jawab mendidik maupun tanggung jawab mengajar.

Rasulullah Saw. bersabda, “Nikahilah olehmu sekalian wanita-wanita subur yang banyak melahirkan anak dan penuh kecintaan. Karena sesungguhnya aku ingin memperbanyak umat dengan kamu sekalian.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).

Itulah prinsip-prinsip pernikahan dan kaitannya dengan masalah pendidikan yang terpenting. Dengan pernikahan itu, ia telah meletakkan batu fondasi di dalam rumahnya, yang mana di atas batu itu akan berdiri pusat-pusat pendidikan yang tepat, tiang-tiang perbaikan sosial dan masyarakat yang berkepribadian. Batu itu adalah wanita salehah. Dengan demikian, pendidikan anak di dalam Islam harus dimulai sejak dini, yakni dengan pernikahan ideal yang berlandaskan prinsip-prinsip yang secara tetap mempunyai pengaruh terhadap pendidikan dan pembinaan generasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar