Jumat, 03 April 2009

Siapa Istri Salehah itu?

“...wanita (istri) yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...” (QS. an-Nisa: 34).

Kesalehan di sini terkait erat dengan “kekhususan” yang dimiliki oleh wanita. Apa yang telah disebutkan merupakan sesuatu yang paling saleh di dalam dirinya.

Imam ath-Thabari mengutip perkataan Abu Ja’far, mendefinisikan “wanita salehah” sebagai “wanita yang istiqomah dalam menjalankan agama dan giat melaksanakan kewajiban.”

Imam Fakhruddin ar-Razi menafsirkan ayat di atas dengan dua pengertian: Pertama, wanita salehah adalah yang qaanitaat (taat kepada Allah) dan haafidzaat lil ghaibi (memelihara diri ketika suaminya tidak ada). Di sini kesalehan wanita menuntut penunaian hak Allah terlebih dahulu, baru kemudian hak suami.

Kedua, status wanita bisa dilihat pada saat suami berada di rumah dan di luar rumah. Saat suami berada di rumah, sikap dan perilaku istri yang salehah digambarkan oleh Allah sebagai qanitat. Artinya, ia menjalankan hak-hak suami.

Sekilas firman Allah ini memang hanya berbentuk informasi, namun sesungguhnya yang ingin ditekankan di sini adalah perintah untuk menaati.

Jadi, seorang wanita (baca: istri) disebut salehah jika ia menaati suaminya, sebab Allah Swt. berfirman, “Ash-shalihaat qaanitaat” (wanita salehah ialah mereka yang taat). Kata sandang alif dan lam dalam “ash” berfungsi menyeluruh. Konsekuensinya, siapa pun wanita yang ingin disebut salehah maka ia wajib patuh dan taat.

Al-Wahidi lebih lanjut menegaskan bahwa lafadz qaanitaat mengindikasikan ketaatan secara umum, menyangkut ketaatan kepada Allah dan suami.

Sementara ketika suami berada di luar rumah, tingkah laku wanita salehah digambarkan oleh Allah Swt. sebagai haafidzat lil ghaib. Artinya, mereka mampu menjaga konsekuensi-konsekuensi ketiadaan suami mereka di rumah. Pertama, ia dapat memelihara diri dari godaan zina, hingga suaminya tidak menanggung malu akibat perbuatan nistanya. Kedua, ia bisa menjaga dan mengurus harta-benda suaminya dari tangan-tangan jahil. Ketiga, ia bisa menjaga rumah suaminya sebagaimana mestinya.

Nabi Saw. bersabda, “Sebaik-baik istri adalah yang menyenangkan jika kamu pandang, yang patuh jika kamu suruh, dan yang menjaga harta-benda dan dirimu jika kamu tidak ada (di rumah).” Kemudian beliau membaca ayat di atas.

Mengenai firman Allah “bi maa hafidzallah”, Imam Fakhruddin ar-Razi mengatakan bahwa firman ini memiliki dua pengertian: Pertama, “maa” di sini berfungsi sebagai “alladzi” (isim maushuul) dengan membuang kata ganti (al ‘aa’id ilaih), sehingga direka menjadi “bi alladzi hafizhallahu lahunna” (dengan apa yang telah Allah pelihara untuk mereka). Artinya, istri salehah berkewajiban memelihara hak-hak suami, sebagai timbal balik kebaikan Allah dalam memelihara hak-hak mereka pada suami mereka, di mana Dia memerintahkan suami mereka untuk bersikap adil terhadap mereka; memperlakukan mereka dengan baik dan memberi mereka mahar. Jadi dalam firman “bi maa hafidzallah” ini berlaku hukum kompensasi.

Kedua, “maa” di sini berfungsi sebagai “ma mashdariyyah” (yang tidak memiliki peran apa-apa), sehingga rekaannya adalah “bi hifdzillah”. Jika mengacu pada redaksi ini maka ada dua pengertian:

Wanita-wanita salehah itu bisa memelihara diri di tengah ketiadaan suami mereka, karena Allah memelihara mereka dan mereka tidak kuasa memelihara diri kecuali dengan taufik Allah. Pemaknaan demikian termasuk redaksi penyandaran mashdar pada faa’il.
Wanita salehah itu bisa memelihara diri di tengah ketiadaan suaminya lantaran ia memelihara Allah, atau lebih tepatnya karena mereka konsisten dalam menjaga batasan-batasan Allah dan perintah-perintah-Nya. Dengan kata lain, tanpa berusaha konsisten menjalankan beban-beban kewajiban Allah (taklif) dan bergiat menjaga perintah-perintah-Nya, seorang wanita (istri) tidak akan menaati suaminya.

Hadits-hadits lain yang membicarakan ketaatan istri kepada suaminya, dapat disebut beberapa di antaranya:

Dalam hadits tentang kisah delegasi kaum wanita, mereka menyebutkan tentang pahala yang diperoleh para lelaki dengan jihad, kemudian mereka bertanya, “Bagaimana kami dapat memperoleh keutamaan seperti demikian?” Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Sampaikan kepada para wanita yang kalian jumpai bahwa mentaati suami dan menunaikan hak-haknya dapat menyamai semua keutamaan itu…” (HR. al-Bazaar dan Thabrani)

“Apabila seorang wanita telah mengerjakan sholat lima waktu, puasa bulan ramadhon, menjaga kemaluannya, mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah jannah dari pintu manapun yang engkau suka’.” (Shahih al-Jami’ al-Kabir)

“Siapa saja wanita yang meninggal sementara suaminya ridho terhadapnya maka ia pasti masuk jannah.” (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim)

“Tidak ada perkara yang lebih bagus bagi seorang mukmin setelah bertakwa kepada Allah daripada istri yang shalihah, bila ia menyuruhnya maka ia menaatinya, bila memandangnya membuat hati senang, bila bersumpah (agar istrinya melakukan sesuatu), maka ia melakukannya dengan baik, dan bila ia pergi maka ia dengan tulus menjaga diri dan hartanya.” (HR. Ibnu Majah)

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad).

Anas berkata, “Para Sahabat Rasulullah Saw. jika menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, maka mereka memerintahkan isteri agar berkhidmat kepada suaminya dan memelihara haknya.”

Ummu Humaid berkata, “Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada 'Aisyah dan memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya di atas kepalanya seraya mendo'a-kannya dan memerintahkannya agar bertakwa kepada Allah serta memenuhi hak suami.”

'Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti 'Auf. Ketika dia akan dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui puterinya lalu berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan dasar-dasar kehidupan yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya yang patut menjadi undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan: “Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar, dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik untuk orang yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya wanita tidak membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup dan keduanya sangat membutuhkanya, niscaya akulah orang yang paling tidak membutuhkannya. Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki, dan karena mereka pula laki-laki diciptakan.

Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya engkau naik kepada keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang engkau belum terbiasa dengannya. Ia dengan ke-kuasaannya menjadi pengawas dan raja atasmu, maka jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia menjadi abdimu pula. Peliharalah untuknya 10 perkara, niscaya ini akan menjadi kekayaan bagimu. Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana'ah (merasa cukup), serta mendengar dan patuh kepadanya. Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya. Jangan sampai matanya melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai mencium darimu kecuali aroma yang paling harum.

Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat makan akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah. Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara keluarga dan kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah menghargainya dengan baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah mengaturnya dengan baik.

Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan jangan menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya, maka hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebar-kan rahasianya, maka engkau tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya. Kemudian janganlah engkau bergembira di hadapannya ketika dia bersedih, dan jangan pula bersedih di hadapannya ketika dia bergembira.”

Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, “Perintahkan kepada puterimu agar tidak singgah di kediaman (suaminya) melainkan dalam keadaan telah mandi. Sebab, air itu dapat mencemerlangkan bagian atas dan membersihkan bagian bawah. Dan janganlah ia terlalu sering mencumbuinya. Sebab jika badan lelah, maka hati menjadi lelah. Jangan pula menghalangi syahwatnya, sebab keharmonisan itu terletak dalam kesesuaian.”

Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada Amirul Mukminin 'Utsman bin 'Affan Ra., dan beliau telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, “Wahai putriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini: bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan.”Abul Aswad berkata kepada puterinya, “Jangalah engkau cemburu, sebab kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian ialah menyempurnakan wudhu.”

Ummu Ma'ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang telah diramunya dengan senyum dan air matanya: “Wahai puteriku, engkau akan memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang tiada tempat di dalamnya untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun dari saudaramu. Engkau akan menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada seorang pun yang menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia berasal dari daging dan darahmu. Jadilah engkau sebagai isteri, wahai puteriku, dan jadilah engkau sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa bahwa engkau adalah segalanya dalam kehidupannya dan segalanya dalam dunianya. Ingatlah selalu bahwa suami itu anak-anak yang besar, jarang sekali kata-kata manis yang membahagia-kannya. Jangan engkau menjadikannya merasa bahwa dengan dia menikahimu, ia telah menghalangimu dari keluargamu.

Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya karenamu. Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan antara wanita dan laki-laki. Wanita selalu rindu kepada keluarganya, kepada rumahnya di mana dia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan belajar. Tetapi dia harus membiasakan dirinya dalam kehidupan yang baru ini. Ia harus mencari hakikat hidupnya bersama pria yang telah menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru, wahai puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu. Inilah mahligaimu, di mana kalian berdua bersama-sama menciptakannya.

Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak me-mintamu melupakan ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu akan lupa belahan hatinya? Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau mencintai suamimu, mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan kehidupanmu bersamanya.”

Kapankah Menolak Perintah Suami?
Kita tidak boleh tunduk pada suami yang memerintah kepada kemaksiatan meskipun hati kita begitu cinta dan sayangnya kepada suami. Jika kewajiban patuh pada suami sangatlah besar, maka apalagi kewajiban mematuhi Allah, tentu lebih besar lagi. Allahlah yang menciptakan kita dan suami kita, kemudian mengikat tali cinta diantara sang istri dan suaminya. Namun perlu diketahui, bukan berarti kita harus marah-marah dan bersikap keras kepada suami jika ia memerintahkan suatu kemaksiatan kepada kita, tetapi cobalah untuk menasehatinya dan berbicara dengan lemah lembut, siapa tahu suami tidak sadar akan kesalahannya atau sedang perlu dinasehati, karena perkataan yang baik adalah sedekah.

Berikut ini beberapa contoh perintah suami yang tidak boleh kita taati karena bertentangan dengan perintah Allah:

1. Menyuruh Kepada Kesyirikan
Tidak layak bagi kita untuk menaati suami yang memerintah untuk melakukan kesyirikan seperti menyuruh istri pergi ke dukun, menyuruh mengalungkan jimat pada anaknya, ngalap berkah di kuburan, bermain zodiak, dan lain-lain. Ketahuilah saudariku, syirik adalah dosa yang paling besar. Syirik merupakan kezholiman yang paling besar (lihat QS. Luqman: 13). Bagaimana bisa seorang hamba menyekutukan Allah sedang Allah-lah yang telah menciptakan dan memberi berbagai nikmat kepadanya? Sungguh merupakan sebuah penghianatan yang sangat besar!

2. Menyuruh Melakukan Kebid’ahan
Nujuh bulan adalah acara yang banyak dilakukan oleh masyarakat ketika calon ibu genap tujuh bulan mengandung si bayi. Ini adalah salah satu dari sekian banyak amalan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah Saw.. Walaupun begitu banyak masyarakat yang mengiranya sebagai ibadah sehingga merekapun bersemangat mengerjakannya. Ketahuilah wahai saudariku muslimah, jika seseorang melakukan suatu amalan yang ditujukan untuk ibadah padahal Nabi Saw. tidak pernah menyontohkannya, maka amalan ini adalah amalan yang akan mendatangkan dosa jika dikerjakan. Ketika sang suami menyuruh istrinya melakukan amalan semacam ini, maka istri harus menolak dengan halus serta menasehati suaminya.

3. Memerintah untuk Melepas Jilbab
Menutup aurat adalah kewajiban setiap muslimah. Ketika suami memerintahkan istri untuk melepas jilbabnya, maka hal ini tidak boleh dipatuhi dengan alasan apapun. Misalnya sang suami menyuruh istri untuk melepaskan jilbabnya agar mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan, hal ini tentu tidak boleh dipatuhi. Bekerja diperbolehkan bagi muslimah (jika dibutuhkan) dengan syarat lingkungan kerja yang aman dari ikhtilat (campur baur dengan laki-laki) dan kemaksiatan, tidak khawatir timbulnya fitnah, serta tidak melalaikan dari kewajibannya sebagai istri yaitu melayani suami dan mendidik anak-anak. Dan tetap berada di rumahnya adalah lebih utama bagi wanita (Lihat QS. al-Ahzab: 33). Allah telah memerintahkan muslimah berjilbab sebagaimana dalam QS. al-Ahzab: 59. Perintah Allah tidaklah pantas untuk dilanggar, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.

3. Mendatangi Istri Ketika Haidh atau dari Dubur
Rasulullah Saw. telah bersabda, “…dan persetubuhan salah seorang kalian (dengan istrinya) adalah sedekah.” (HR. Muslim)

Begitu luasnya rahmat Allah hingga menjadikan hubungan suami istri sebagai sebuah sedekah. Berhubungan suami istri boleh dilakukan dengan cara dan bentuk apapun. Walaupun begitu, Islam pun memiliki rambu-rambu yang harus dipatuhi, yaitu suami tidak boleh mendatangi istrinya dari arah dubur, sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, “(Boleh) dari arah depan atau arah belakang, asalkan di farji (kemaluan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka ketika suami mengajak istri bersetubuh lewat dubur, hendaknya sang istri menolak dan menasehatinya dengan cara yang hikmah. Termasuk hal yang juga tidak diperbolehkan dalam berhubungan suami istri adalah bersetubuh ketika istri sedang haid. Maka perintah mengajak kepada hal ini pun harus kita langgar. Hal ini senada dengan sabda Nabi Saw., “Barangsiapa yang menjima’ istrinya yang sedang dalam keadaan haid atau menjima’ duburnya, maka sesungguhnya ia telah kufur kepada Muhammad.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi)

Demikian uraian singkat dari Quran Surat an-Nisa ayat 34 tentang definisi wanita salehah. Semoga definisi yang telah digariskan al-Quran dapat menjadi bagian dari akhlak seorang muslimah, terutama mereka yang sudah berkeluarga.

1 komentar:

  1. Terima kasih artikelnya..

    Silahkan kunjungi blog saya: www.busanamuslim-trendy.blogspot.com
    Salam

    BalasHapus